Permasalahan Pedagang Kaki Lima mesti dilihat secara komprehensif. Menjamurnya PKL itu terjadi karena terbatasnya lapangan pekerjaan, sehingga menuntut warga melakukan beragam upaya bertahan hidup. Di tengah keterbatasan modal dan sumber daya, berjualan di tepi jalan, di atas trotoar menjadi pilihan.
“Maraknya PKL itu karena adanya masalah sosial, terbatasnya lapangan pekerjaan bagi rakyat kecil, dan keterbatasan modal untuk membangun usaha di lokasi perdagangan atau tempat usaha yang disediakan Pemerintah disebabkan ketidakmampuan dengan beban biaya sewa tempat yang tidak terjangkau,” kata Rachmat Rahardjo saat penyampaian Pemandangan Umum F-PKS menyikapi Raperda Penataan dan Pemberdayaan PKL, Kamis (2/6).
Oleh karena itu, konsep penataan dan pemberdayaan PKL agar benar-benar teliti memperhatikan siapa saja yang berhak ditata dan siapa yang berhak diberdayakan. Pemerintah harus mengetahui betul profil para PKL. Apakah yang bersangkutan adalah pemilik langsung usaha kaki lima tersebut ataukah hanya seorang pekerja dari seorang pemodal?
Rachmat menambahkan terkait kondisi PKL eks Taman Pancasila, maka hal mendasar yang harus diperhatikan pemerintah Kota adalah eksistensi hidup warganya. “Penertiban PKL pada masa transisi seperti ini hanya akan memunculkan perlawanan keras saat berhadapan dengan eksistensi hidup warga masyarakat. Maka sikap arif dan bijaksana Pemerintah Kota Tegal benar-benar sangat diperlukan agar tidak terjadi persoalan sosial yang makin besar,” jelasnya.
Fraksi PKS mengharapkan Raperda PKL ini benar-benar dapat mengatur secara lengkap mencakup semua aspek antara lain; lokasi dan kawaan tempat berusaha PKL, hak kewajiban baik bagi PKL maupun penyelenggara pemerintahan, pendataan, pendaftaran, dan perijinan, pemberdayaan, monitoring dan evaluasi, serta regulasi turunan dari raperda ini yang mengatur lebih detail tentang PKL.[]